hover animation preload

OBYEK ILMU FIQH DAN USHULUL FIQH
by Blog Pusat Belajar in

Obyek pembahasan Ilmu Fiqh ialah perbuatan orang dewasa (Mukallaf) ialah seorang muslim yang telah akil baligh (dewasa) dipandang dari ketetapan hukum syariat Islam. Jadi seorang al-Faqib (ahli hukum Islam), membahas tentang jual-beii mukallaf, tentang sewa-menyewanya, tentang penggadaiannya, tentang membuat wakilnya, tentang shalat dan puasanya, tentang hajinya, pembunuhannya, tuduhannya, pencuriannya, tentang ikrar dan wakafnya, supaya dia mengerti tentang hukum syariat Islam dalam semua tindak dan perbuatannya.

Sedangkan obyek pembahasan ilmu Ushulul Fiqh ialah: dalil syar'i yang umum dipandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum pula. Jadi seorang ahli ushul (ushuly), membahas tentang al-Qiyas dan kehujjahannya, membahas pula tentang dalil 'Am dan yang membatasinya, tentang 'Amr (perintah) dan hal-hal yang menunjukkan makna amar, dan begitu seterusnya. Untuk menjelaskan soal-soal tersebut, ada contoh-contoh sebagai berikut:

Al-Quran adalah dalil syar'i yang pertama bagi setiap hukum. Artinya nash-nash syar'iyah tidak terumuskan dalam satu bentuk saja. Bahkan di antaranya ada yang terumuskan dengan bentuk perintah ('amr), ada pula yang dengan bentuk (shighot) larangan (nahi), dan ada pula yang dengan shighot umum atau mutlak. Maka semua shighot tersebut adalah "macam keumuman" (kulliyah) yang diambil dari macam-macam dalil syar'i yang umum pula ('am), yaitu al-Quran. Jadi, seorang ushuly membahas setiap macam dari cabang-cabang tersebut supaya bisa menghasilkan macam-macam hukum yang umum (kully), yang bisa menunjukkan kepada macam shighot tersebut dengan menggunakan metode penyelidikan mengenai asas Bahasa Arab dan mengenai tata-cara hukum syariat Islam. Apabila dia bisa mengambil kesimpulan, bahwa shighot 'amr itu memberikan pengertian wajib, atau shighot nahi itu memberikan pengertian haram, atau shighot umum itu memberikan pengertian tercakupnya semua unsur-unsur dalam dalil 'Am secara pasti, dan atau shighot ithlaq (mutlak) itu memberikan pengertian tetapnya hukum secara mutlak, maka dengan itu disusunlah kaidah-kaidah seperti berikut:

1) "Perintah berani wajib". الأَمْرُ لِلاِيْجَابِ
2) "Larangan berarti keharaman". النَّهِيُ لِلتَحْرِيْمِ
3) "Lafazh yang umum berarti mencakup semua unsur di dalamnya secara pasti".
العَامُ يَنْتَظِمُ جَمِيْعَ أَفْرَادِهِ قَطْفًَا
4) "Lafazh yang mutlak berarti keumuman tanpa batas".
المُطْلَقُ يَدُلُّ عَلَى الفَرْدِ الشَائِعِ بِغَيْرِ قَيَّدٍِ

Kaidah-kaidah umum (kulliyah) dan lainnya itu sebagai hasil susunan ulama ilmu ushul yang dijadikan pedoman oleh ulama Fiqh sebagai kaidah yang bisa diterima (rasional, logis) dan dijadikan pedoman di dalam menerapkan bagian-bagian dalil umum, supaya dengan itu bisa menghasilkan hukum syariat Islam yang bersifat amali, yakni hal perbuatan manusia secara terinci. Jadi al-faqih praktis bisa menggunakan kaidah: al-Ijab atas firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S 5, al-Maidah:1)

Dan bisa menjatuhkan hukum wajib terhadap memenuhi akad. Bisa juga menggunakan kaidah: al-Tahrim atas firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S 49,al-Hujurat:11)

Dan bisa menghukumi penghinaan kaum oleh kaum itu diharamkan/ haram. Dan bisa lagi menggunakan kaidah:
العَامُ يَنْتَظِمُ بَيْنَ أَفْرَادِهِ قَطْعاًَ

atas firman Allah yang berbunyi

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu (Q.S 4,an-Nisa:23)

Dan terakhir kaidah:
المُطْلَقُ يَدُلُّ عَلَى اَيِّ فَرْدٍِ
atas firman Allah dalam soal Kafaroh Zhi-har yang berbunyi:

Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (Q.S 58,al-Mujadalah:3)

Sehingga dapat menghukumi memerdekakan setiap budak, baik dia itu muslim atau non-Muslim dalam soal menebusi perbuatan zhihar (aninya sumpah seorang suami yang menuduh punggung istrinya seperti punggung ibunya)

Dari uraian tersebut maka jelaslah perbedaan di antara dalil kulli (bersifat umum) dan dalil juz'i (bagian/detail). Sekaligus jelas pula di antara kulli dan hukum juz'i.

Jadi dalil kulli adalah macam yang umum dari beberapa dalil, yang terkandung di dalamnya berbagai juz'iyah (bagian, cabang), seperti 'Amr, Nahi,'am, Mutlak, Ijma'ush-Sharih, Ijma' sukuti, dan Qiyas yang sudah terdapat nash pada illatnya, yakni diistimbathkan. Jadi, shighot 'Amr itu adalah shighot yang kulli, di mana di dalamnya tercakup semua shighot yang disampaikan dengan bentuk 'Amr. Begitu pula Nahi, semua shighot yang disampaikan dengan bentuk Nahi, maka ia pun tercakup di dalam Nahi, dan begitu seterusnya. Maka :'Amr adalah dalil yang kulli, sedangkan nash yang datang itu adalah dalil yang juz'i. Dan Nahi adalah dalil kulli, sedang nash yang datang dengan shighot (bentuk) nahi adalah dalil juz'i,

Hukum yang kulli ialah macam yang umum, di mana tercakup di dalamnya berbagai juz'iyab, seperti: Ijab (اجاب) Haram (تحريم), Sah (صحّة) dan Batal (بطلان) wajib atau Ijab, ialah hukum yang kulli, di mana di dalamnya tercakup kewajiban memenuhi, kewajiban menyaksikan dalam akad nikah dan kewajiban apa saja. Begitu pula haram, ia juga hukum yang kulli, yakni di dalamnya tercakup keharaman zina dan mencuri, dan keharaman apa saja, dan begitu seterusnya mengenai sah dan batal. Jadi wajib itu adalah hukum kulli, sedang kewajiban suatu perbuatan tertentu adalah hukum juz'i.

Download Dokumen

0 komentar:

Posting Komentar