A. Ilmu Fiqh
Tumbuhnya hukum-hukum Fiqh itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena agama Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada akidah, akhlak dan hukum amaliyah. Hukum- hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW. telah dibentuk dari beberapa hukum yang telah ada di dalam al-Quran. Termasuk pula hukum-hukum yang ke luar dari Rasulullah SAW. dalam fatwanya terhadap suatu kejadian atau ke-putusan terhadap suatu perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum Fiqh itu dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT. dan Rasul-Nya. Sedang sumbernya adalah al-Quran dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukanlah kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW., maka berijtihadlah ahli ijtihad di antara mereka dan mereka pun menetapkan beberapa_ hukum syariat Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum dalam periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum Fiqh dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT, dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Quran, al-Sunnah dan Ijtihad para sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum pula disyariatkan hukum-hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat kemungkinan, kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu. Belum pula menjelma sebagai bentuk Ilmu Pengetahuan, karena hanya merupakan bagian daripada kejadian yang bersifat perbuatan.
Himpunan ilmu ini juga belum disebut Ilmu Fiqh. Dan tokohnya di kalangan para sahabat Nabi SAW. pun belum dikatakan Fuqoha (ahli hukum). Akan tetapi pada masa Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in serta imam-imam Mujtahidin, yaitu sekitar dua Hijriyah, (abad kedua dan ketiga hijriah), yakni ketika Daulah Islamiyah sudah makin berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari selain bangsa Arab, banyak pula kejadian baru, berbagai kesulitan, bahasan, pandangan dan kegiatan pembangunan material, spiritual, yang memberi beban kepada para Imam Mujtahidin untuk meluaskan lapangan ijtihad dan pembentukan hukum syariat Islam terhadap beberapa kejadian kasus, membuka pula bagi mereka pintu-pintu pembahasan dan pembicaraan. Maka makin luas pula lapangan pembentukan hukum-hukum syariat Islam (Hukum Fiqh) dan beberapa hukum mengenai beberapa peristiwa dan kejadian yang masih bersifat kemungkinan. Semua hukum itu disandarkan kepada dua himpunan hukum yang terdahulu (yakni periode Rasul SAW. dan periode sahabat Rasul), jadi himpunan hukum Fiqh dalam periode ketiga adalah tersusun dari hukum-hukum Allah SWT., Rasul-Nya, fatwa dan keputusan sahabat Rasul. Dan yang keempat tersusun dari fatwa Mujtahidin dari hasil ijtihad mereka. Sedang sumbernya ialah al-Quran, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan Imam Mujtahidin
Pada masa inilah dimulai kodifikasi hukum-hukum tersebut, bersama-sama dengan permulaan kodifikasi al-Sunnah, dan menjelmalah hukum-hukum itu sebagai Ilmu Pengetahuan, karena sudah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, Ulatnya dan dalil-dalil pokok yang umum, yang dari situ bercabang- cabang pula beberapa ilmu pengetahuan Agama Islam. Dan tokoh-tokoh ilmu itu disebut Fuqoha', sedang ilmunya disebut Fiqh. Adapun ilmu Fiqh yang pertama kali dikodifikasikan, sepanjang yang sampai kepada kita, ialah (kitab) Al-Muwaththo'-nya Imam Malik bin Anas, disusun atas dasar permintaan Khalifah al-Mansur, berisi mengenai al-Sunnah dan fatwa Sahabat serta Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang sah menurut Imam Malik. Jadi kodifikasi tersebut merupakan Kitab Hadis dan Fiqh yang dijadikan asas bagi Fiqh Hijaz, disusul beberapa Kitab Fiqh oleh al-Imam Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah yang dijadikan sebagai asas Fiqh Iraq. Imam Muhammad bin al-Hasan pengikut Abu Hanifah pun tidak ketinggalan pula ikut mengkodifikasikan kitab-kitab yang lahirnya mengikuti riwayat enam, yang telah dihimpun oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya al-Kafi dan dikomentari oleh Imam al-Sahrasi dalam kitabnya al-Mahsuth yang dijadikan sebagai tempat kembali (referensi) mazhab Hanafi, Dan al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i mendiktekan kitabnya al-'Um di Mesir, yang dijadikan sebagai tiang/pilar Fiqh Mazhab Syafi'i.
B. llmu Ushulul Fiqh
Adapun ilmu Ushulul Fiqh, tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua Hijriah, karena pada abad pertama hijriah, ilmu tersebut belum diperlukan, di mana Rasul SAW. berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Quran yang diwahyukan kepadanya, dan menurut al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri (al-fitri) tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam istimbath dan berijtihad. Sedangkan para sahabat Nabi SAW. memberikan fatwa hukum dan menelorkan keputusan dengan dalil-dalil nash yang dapat mereka pahami berdasarkan kemampuan bahasa Arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istimbath terhadap hukum yang tidak terdapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan datangnya hadis-hadis. Mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syariat Islam (syari') dan dasar-dasar pembentukannya.
Tetapi ketika kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam bahasa dan bergaul dalam tulis-menulis, sehingga di dalam bahasa Arab terjadi beberapa mufrodat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa) yang bukan bahasa Arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi yang murni. Terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyu-sun batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa dipahami sebagaimana orang Arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan bahasanya. Fungsi menyusun kaidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan diperlukannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa berbahasa secara baik.
Begitu juga ketika benar-benar telah jauh masa fajar pembentukan hukum syariat Islam (yakni masa pembentukannya), terjadilah perdebatan sengit di antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ro'yi. Makin berani pula sebagian orang-orang yang bukan ahli ilmu agama (Ahlul Ahwa') menjadikan hujjah sesuatu yang bukan hujjah. Dan sebaliknya, mereka mengingkari sesuatu yang justru sebagai hujjah. Semua ini suatu dorongan dan motivasi disusunnya batasan-batasan dan bahasan-bahasan mengenai dalil syar'iyah dan syarat-syarat ataupun cara menggunakan dalil daripada dalil-dalil tersebut.
Keseluruhan bahasan-bahasan tentang penggunaan dalil dan batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian, menjelma menjadi ilmu Ushulul Fiqh.
Akan tetapi ilmu itu tumbuh dengan kondisi yang minim atau sederhana/kecil, sebagaimana setiap anak yang lahir itu juga kecil pada asal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkatlah pertumbuhannya, sehingga mencapai perjalanan yang berusia 200 tahun. Mulailah ia tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar di sela-sela hukum Fiqh. Karena setiap mujtahid di antara imam Mujtahid yang empat ataupun lainnya, memberikan petunjuk kepada dalil hukumnya, dan arah isadlal-nya dengan ilmu Ushulul Fiqh. Sedangkan mujtahid yang menyalahinya, berarti ia telah membuat hujjah dengan menyalahi beberapa aspek tentang hujjah. Padahal semua bentuk menggunakan dalil (istidlal) dan bentuk menggunakan hujjah (ihtijaj), adalah tersimpan di dalam kaidah-kaidah ushul.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-berai di dalam satu himpunan, ialah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrosat (sebuah catatan kaki). Namun apa yang dia tulis itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan/uraian yang mendalam (serius), ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, yang meninggal pada tahun 204 H. Dalam pentadwinan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyah (dicetak oleh Percetakan al-Amiriah dan al-Halabiah), yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya, al-Robi' al-Murodi. Kitab itulah sebagai kitab kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu populerlah di kalangan para Ulama, bahwa pendasar ilmu ushulul fiqh adalah Imam al-Syafi'i.
Setelah itu berturut-turut para Ulama mengarang ilmu ini dengan bentuk yang panjang lebar (ishab) ataupun ringkas (ijaz). Ulama kalam pun (ahli teologi) juga menempuh jalan atau sistem untuk menyusun ilmu ini. Dan Ulama Hanafiyah dalam menyusun ilmu ini menempuh sistem yang lain.
Kelebihan Ulama Kalam dalam menempuh sistem penyusunan ilmu ini, ialah pembuktiannya terhadap kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini secara logika yang rasional. Mereka telah menetapkan sesuatu yang terdapat dalil (al-Burhan) baginya. Perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah-kaidah itu terhadap hukum yang telah diistimbathkan oleh para Imam Mujtahidin, atau hubungan kaidah-kaidah itu dengan masalah-masalah furu' (masalah khilafiah), akan tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat Islam, baik itu sesuai dengan masalah-masalah furu' dalam berbagai mazhab Mujtahidin, ataupun menyalahinya.
Di antara Ulama Kalam yang paling menguasai keahliannya dalam bidang ilmu Ushulul Fiqh, ialah Ulama Syafi'iyah dan Ulama Malikiyah.
Kitab-kitab Ushul yang termasyhur dan disusun dengan sistem tersebut di atas, di antaranya ialah: Kitab al-Mustashfa, karangan Abu Hamid al-Ghozali al-Syafi'i, wafat pada 505 H, Kitab al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi'i, wafat pada 613 H, dan kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi'i wafat pada 685 H. Sedangkan di antara kitab syarah (komentar dan analisa) yang terbaik ialah kitab Syarah al-Asnawi.
Adapun Ulama Hanafiyah, kelebihan sistemnya dalam penyusunan ilmu ini, ialah dalam hal menyusun kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakini oleh mereka bahwa para Imamnya telah menyandarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah, di mana telah bercabang daripada kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para Imamnya. Sedangkan yang memberikan motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut, ialah beberapa hukum yang telah diistimbathkan oleh para Imamnya, dengan bersandar kepadanya, bukan sekedar dalil yang bersifat teoretis. Karena itu mereka telah memperbanyak menyebutkan masalah-masalah furu' dalam beberapa kitabnya.
Pada suatu saat mereka juga menaruh perhatian secara serius tentang kaidah-kaidah ushuliyah mengenai masalah-masalah yang telah disepakati dan juga masalah-masalah furu'. Jadi semata-mata perhatian mereka itu tertuju kepada masalah ushulul fiqh para Imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu' dalam melakukan istimdad. Di antara kitab-kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem ini ialah kitab ushul Abi Zaid al-Dabusi, wafat pada tahun 430 H, kitab ushul-nya Fakhrul Islam yang wafat pada 430 H, dan kitab al-Manar buah pena al-Hafizh al-Nasafi, wafat pada 790 H. Sedangkan di antara kitab syarah (komentar) yang terbaik, ialah kitabMisykatul Anwar.
Dalam penyusunan ilmu ini, sebagian Ulama juga telah menempuh sistem yang menghimpun di antara dua sistem tersebut di atas. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan penerapannya terhadap masa lah fiqb far'iyah dan hubungannya dengan kaidah-kaidah tersebut.
Di antara kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem perpaduan (kombinasi) ini, ialah Badi-un Nizhom, yang menghimpun di antara kitab al-Bazdowi dan kitab al-Ahkam, karangan Muzhoffaruddin al-Bagh-dadi al-Hanafi, wafat pada 694 H, dan kitab at-Taudhiih karangan Shodrus Syariah, kitab at-Tahrir, karangan al-Kamal bin al-Hammam, dan kitab Jam'ul Jawaami' karangan Ibnus Subki.
Sedangkan kitab-kitab susunan baru yang ringkas dan berguna dalam ilmu ini, ialah: kitab lrsyadul fuhu-llatahqiqil Haqqi min ilmil Ushul, karangan Imam al-Syauqoni, meninggal pada 1250 H. Kitab Ushulul Fiqh buah pena almarhum al-Sayid Muhammad Hudhori Bek, meninggal pada 1927 M, dan kitab Tashilul Wusbul ila ilmil Ushul, karangan almarhum al-Syaikh Muhammad Abd. Rahman 'Aid al-Mihlawi, wafat pada 1920 M.
Jadi intinya, Definisi ilmu, obyeknya, tujuannya, pertumbuhan dan nisbahnya kepada ilmu-ilmu lain, penyusunnya, hukum mempelajarinya semua masalah-masalahnya, adalah disebut sebagai dasar suatu ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Arab disebut Mabadi'ul ilmi (dasar-dasar ilmu).
Dasar-dasar itu bagi suatu ilmu adalah merupakan gambaran secara global yang dijadikan pusat perhatian dalam mengkaji suatu ilmu bagi penyusunannya. Karena itu para penyusun membiasakan menguraikan hasil karyanya dalam mukaddimah yang menjelaskan dasar-dasarnya.
Para Ulama telah menyusun beberapa kitab Risalah (kitab kecil) khusus mengenai dasar-dasar ilmu itu. Di antaranya ada yang dicetak dengan format kecil namun besar manfaatnya. Yaitu Risalah almarhum al-Syaikh Ali Rajab al-Sholihin. Nama kitab itu ialah Tahqiqu Mabaadi'il Uluumil Ibda Asyar (Merealisir dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sebelas).
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqoddimah-nya, menulis dalam bagian akhir beberapa pasal tentang ilmu-ilmu syar'iyah lughowiyah dan aqliyah. Di sana beliau menjelaskan tentang ta'rif (definisi) setiap ilmu, pertumbuhannya dan perkembangannya.
Kemudian yang terpenting dalam perhatian ini, ialah bahwasanya bahasan ilmu Ushulul Fiqh dan kaidahnya bukanlah bahasan atau kaidah yang bersifat Ta'abbudiyah (hal-hal yang tidak bisa dipertimbangkan secara akal yakni bersifat dogma dan pasti). Akan tetapi hanya semata-mata sebagai alat dan sarana yang dijadikan penolong bagi pembuat hukum syariat Islam (al-Musyri') dalam memelihara kemaslahatan umum dan mengikuti batas-batas ketetapan Tuhan ketika membentuk hukum syariat Islam. Juga sebagai penolong bagi seorang hakim (Qodhi) dalam menjalankan keputusan secara adil, atau ketika ia menerapkan undang-undang dalam keputusan itu.
Download Dokumen
Tumbuhnya hukum-hukum Fiqh itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Karena agama Islam pada hakikatnya adalah himpunan daripada akidah, akhlak dan hukum amaliyah. Hukum- hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW. telah dibentuk dari beberapa hukum yang telah ada di dalam al-Quran. Termasuk pula hukum-hukum yang ke luar dari Rasulullah SAW. dalam fatwanya terhadap suatu kejadian atau ke-putusan terhadap suatu perselisihan, dan atau jawaban terhadap suatu soal. Jadi hukum-hukum Fiqh itu dalam periode pertamanya terjadi dari hukum Allah SWT. dan Rasul-Nya. Sedang sumbernya adalah al-Quran dan al-Sunnah.
Pada masa sahabat, ditemukanlah kejadian-kejadian baru yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW., maka berijtihadlah ahli ijtihad di antara mereka dan mereka pun menetapkan beberapa_ hukum syariat Islam yang disandarkan kepada hukum-hukum dalam periode pertama, sesuai dengan hasil ijtihadnya. Maka perwujudan hukum-hukum Fiqh dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT, dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Quran, al-Sunnah dan Ijtihad para sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu belum dikodifikasikan dan belum pula disyariatkan hukum-hukum mengenai kejadian-kejadian yang masih bersifat kemungkinan, kecuali hanya mengenai kejadian yang sudah terjadi pada masa itu. Belum pula menjelma sebagai bentuk Ilmu Pengetahuan, karena hanya merupakan bagian daripada kejadian yang bersifat perbuatan.
Himpunan ilmu ini juga belum disebut Ilmu Fiqh. Dan tokohnya di kalangan para sahabat Nabi SAW. pun belum dikatakan Fuqoha (ahli hukum). Akan tetapi pada masa Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in serta imam-imam Mujtahidin, yaitu sekitar dua Hijriyah, (abad kedua dan ketiga hijriah), yakni ketika Daulah Islamiyah sudah makin berkembang dan sudah banyak pengikut-pengikut Islam dari selain bangsa Arab, banyak pula kejadian baru, berbagai kesulitan, bahasan, pandangan dan kegiatan pembangunan material, spiritual, yang memberi beban kepada para Imam Mujtahidin untuk meluaskan lapangan ijtihad dan pembentukan hukum syariat Islam terhadap beberapa kejadian kasus, membuka pula bagi mereka pintu-pintu pembahasan dan pembicaraan. Maka makin luas pula lapangan pembentukan hukum-hukum syariat Islam (Hukum Fiqh) dan beberapa hukum mengenai beberapa peristiwa dan kejadian yang masih bersifat kemungkinan. Semua hukum itu disandarkan kepada dua himpunan hukum yang terdahulu (yakni periode Rasul SAW. dan periode sahabat Rasul), jadi himpunan hukum Fiqh dalam periode ketiga adalah tersusun dari hukum-hukum Allah SWT., Rasul-Nya, fatwa dan keputusan sahabat Rasul. Dan yang keempat tersusun dari fatwa Mujtahidin dari hasil ijtihad mereka. Sedang sumbernya ialah al-Quran, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan Imam Mujtahidin
Pada masa inilah dimulai kodifikasi hukum-hukum tersebut, bersama-sama dengan permulaan kodifikasi al-Sunnah, dan menjelmalah hukum-hukum itu sebagai Ilmu Pengetahuan, karena sudah dilengkapi dengan dalil-dalilnya, Ulatnya dan dalil-dalil pokok yang umum, yang dari situ bercabang- cabang pula beberapa ilmu pengetahuan Agama Islam. Dan tokoh-tokoh ilmu itu disebut Fuqoha', sedang ilmunya disebut Fiqh. Adapun ilmu Fiqh yang pertama kali dikodifikasikan, sepanjang yang sampai kepada kita, ialah (kitab) Al-Muwaththo'-nya Imam Malik bin Anas, disusun atas dasar permintaan Khalifah al-Mansur, berisi mengenai al-Sunnah dan fatwa Sahabat serta Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang sah menurut Imam Malik. Jadi kodifikasi tersebut merupakan Kitab Hadis dan Fiqh yang dijadikan asas bagi Fiqh Hijaz, disusul beberapa Kitab Fiqh oleh al-Imam Abu Yusuf, pengikut Abu Hanifah yang dijadikan sebagai asas Fiqh Iraq. Imam Muhammad bin al-Hasan pengikut Abu Hanifah pun tidak ketinggalan pula ikut mengkodifikasikan kitab-kitab yang lahirnya mengikuti riwayat enam, yang telah dihimpun oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya al-Kafi dan dikomentari oleh Imam al-Sahrasi dalam kitabnya al-Mahsuth yang dijadikan sebagai tempat kembali (referensi) mazhab Hanafi, Dan al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i mendiktekan kitabnya al-'Um di Mesir, yang dijadikan sebagai tiang/pilar Fiqh Mazhab Syafi'i.
B. llmu Ushulul Fiqh
Adapun ilmu Ushulul Fiqh, tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua Hijriah, karena pada abad pertama hijriah, ilmu tersebut belum diperlukan, di mana Rasul SAW. berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Quran yang diwahyukan kepadanya, dan menurut al-Sunnah yang diilhamkan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri (al-fitri) tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam istimbath dan berijtihad. Sedangkan para sahabat Nabi SAW. memberikan fatwa hukum dan menelorkan keputusan dengan dalil-dalil nash yang dapat mereka pahami berdasarkan kemampuan bahasa Arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istimbath terhadap hukum yang tidak terdapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syariat Islam yang telah mereka jiwai lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan datangnya hadis-hadis. Mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syariat Islam (syari') dan dasar-dasar pembentukannya.
Tetapi ketika kemenangan Islam makin bertambah luas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, bergaul dalam bahasa dan bergaul dalam tulis-menulis, sehingga di dalam bahasa Arab terjadi beberapa mufrodat (kata-kata baru) dan uslub-uslub (gaya bahasa) yang bukan bahasa Arab, maka tidaklah kekal naluri bahasa itu dalam kondisi yang murni. Terjadilah kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan lain yang harus terjadi dalam memahami nash. Dari itulah diperlukan menyu-sun batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang dengan itu nash bisa dipahami sebagaimana orang Arab dapat memahaminya lantaran datang sesuai dengan bahasanya. Fungsi menyusun kaidah itu adalah tidak jauh berbeda dengan diperlukannya menyusun kaidah-kaidah Nahwu, yang dengan itu seseorang bisa berbahasa secara baik.
Begitu juga ketika benar-benar telah jauh masa fajar pembentukan hukum syariat Islam (yakni masa pembentukannya), terjadilah perdebatan sengit di antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ro'yi. Makin berani pula sebagian orang-orang yang bukan ahli ilmu agama (Ahlul Ahwa') menjadikan hujjah sesuatu yang bukan hujjah. Dan sebaliknya, mereka mengingkari sesuatu yang justru sebagai hujjah. Semua ini suatu dorongan dan motivasi disusunnya batasan-batasan dan bahasan-bahasan mengenai dalil syar'iyah dan syarat-syarat ataupun cara menggunakan dalil daripada dalil-dalil tersebut.
Keseluruhan bahasan-bahasan tentang penggunaan dalil dan batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian, menjelma menjadi ilmu Ushulul Fiqh.
Akan tetapi ilmu itu tumbuh dengan kondisi yang minim atau sederhana/kecil, sebagaimana setiap anak yang lahir itu juga kecil pada asal pertumbuhannya, kemudian sedikit demi sedikit meningkatlah pertumbuhannya, sehingga mencapai perjalanan yang berusia 200 tahun. Mulailah ia tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar di sela-sela hukum Fiqh. Karena setiap mujtahid di antara imam Mujtahid yang empat ataupun lainnya, memberikan petunjuk kepada dalil hukumnya, dan arah isadlal-nya dengan ilmu Ushulul Fiqh. Sedangkan mujtahid yang menyalahinya, berarti ia telah membuat hujjah dengan menyalahi beberapa aspek tentang hujjah. Padahal semua bentuk menggunakan dalil (istidlal) dan bentuk menggunakan hujjah (ihtijaj), adalah tersimpan di dalam kaidah-kaidah ushul.
Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-berai di dalam satu himpunan, ialah Imam Abu Yusuf pengikut Abu Hanifah, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam al-Fihrosat (sebuah catatan kaki). Namun apa yang dia tulis itu tidak sampai kepada kita.
Sedangkan orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan keterangan/uraian yang mendalam (serius), ialah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, yang meninggal pada tahun 204 H. Dalam pentadwinan (kodifikasi) itu telah ditulis kitab Risalah Ushuliyah (dicetak oleh Percetakan al-Amiriah dan al-Halabiah), yang telah diriwayatkan oleh pengikutnya, al-Robi' al-Murodi. Kitab itulah sebagai kitab kodifikasi yang pertama kali dalam ilmu ini, dan itulah satu-satunya yang sampai kepada kita sepanjang pengetahuan kita. Karena itu populerlah di kalangan para Ulama, bahwa pendasar ilmu ushulul fiqh adalah Imam al-Syafi'i.
Setelah itu berturut-turut para Ulama mengarang ilmu ini dengan bentuk yang panjang lebar (ishab) ataupun ringkas (ijaz). Ulama kalam pun (ahli teologi) juga menempuh jalan atau sistem untuk menyusun ilmu ini. Dan Ulama Hanafiyah dalam menyusun ilmu ini menempuh sistem yang lain.
Kelebihan Ulama Kalam dalam menempuh sistem penyusunan ilmu ini, ialah pembuktiannya terhadap kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini secara logika yang rasional. Mereka telah menetapkan sesuatu yang terdapat dalil (al-Burhan) baginya. Perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah-kaidah itu terhadap hukum yang telah diistimbathkan oleh para Imam Mujtahidin, atau hubungan kaidah-kaidah itu dengan masalah-masalah furu' (masalah khilafiah), akan tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat Islam, baik itu sesuai dengan masalah-masalah furu' dalam berbagai mazhab Mujtahidin, ataupun menyalahinya.
Di antara Ulama Kalam yang paling menguasai keahliannya dalam bidang ilmu Ushulul Fiqh, ialah Ulama Syafi'iyah dan Ulama Malikiyah.
Kitab-kitab Ushul yang termasyhur dan disusun dengan sistem tersebut di atas, di antaranya ialah: Kitab al-Mustashfa, karangan Abu Hamid al-Ghozali al-Syafi'i, wafat pada 505 H, Kitab al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi'i, wafat pada 613 H, dan kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi'i wafat pada 685 H. Sedangkan di antara kitab syarah (komentar dan analisa) yang terbaik ialah kitab Syarah al-Asnawi.
Adapun Ulama Hanafiyah, kelebihan sistemnya dalam penyusunan ilmu ini, ialah dalam hal menyusun kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah yang telah diyakini oleh mereka bahwa para Imamnya telah menyandarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah, di mana telah bercabang daripada kaidah-kaidah itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para Imamnya. Sedangkan yang memberikan motivasi dan dorongan kepada mereka dalam membuktikan kaidah-kaidah tersebut, ialah beberapa hukum yang telah diistimbathkan oleh para Imamnya, dengan bersandar kepadanya, bukan sekedar dalil yang bersifat teoretis. Karena itu mereka telah memperbanyak menyebutkan masalah-masalah furu' dalam beberapa kitabnya.
Pada suatu saat mereka juga menaruh perhatian secara serius tentang kaidah-kaidah ushuliyah mengenai masalah-masalah yang telah disepakati dan juga masalah-masalah furu'. Jadi semata-mata perhatian mereka itu tertuju kepada masalah ushulul fiqh para Imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu' dalam melakukan istimdad. Di antara kitab-kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem ini ialah kitab ushul Abi Zaid al-Dabusi, wafat pada tahun 430 H, kitab ushul-nya Fakhrul Islam yang wafat pada 430 H, dan kitab al-Manar buah pena al-Hafizh al-Nasafi, wafat pada 790 H. Sedangkan di antara kitab syarah (komentar) yang terbaik, ialah kitabMisykatul Anwar.
Dalam penyusunan ilmu ini, sebagian Ulama juga telah menempuh sistem yang menghimpun di antara dua sistem tersebut di atas. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah-kaidah itu. Juga memperhatikan penerapannya terhadap masa lah fiqb far'iyah dan hubungannya dengan kaidah-kaidah tersebut.
Di antara kitab ushul termasyhur yang disusun dengan sistem perpaduan (kombinasi) ini, ialah Badi-un Nizhom, yang menghimpun di antara kitab al-Bazdowi dan kitab al-Ahkam, karangan Muzhoffaruddin al-Bagh-dadi al-Hanafi, wafat pada 694 H, dan kitab at-Taudhiih karangan Shodrus Syariah, kitab at-Tahrir, karangan al-Kamal bin al-Hammam, dan kitab Jam'ul Jawaami' karangan Ibnus Subki.
Sedangkan kitab-kitab susunan baru yang ringkas dan berguna dalam ilmu ini, ialah: kitab lrsyadul fuhu-llatahqiqil Haqqi min ilmil Ushul, karangan Imam al-Syauqoni, meninggal pada 1250 H. Kitab Ushulul Fiqh buah pena almarhum al-Sayid Muhammad Hudhori Bek, meninggal pada 1927 M, dan kitab Tashilul Wusbul ila ilmil Ushul, karangan almarhum al-Syaikh Muhammad Abd. Rahman 'Aid al-Mihlawi, wafat pada 1920 M.
Jadi intinya, Definisi ilmu, obyeknya, tujuannya, pertumbuhan dan nisbahnya kepada ilmu-ilmu lain, penyusunnya, hukum mempelajarinya semua masalah-masalahnya, adalah disebut sebagai dasar suatu ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Arab disebut Mabadi'ul ilmi (dasar-dasar ilmu).
Dasar-dasar itu bagi suatu ilmu adalah merupakan gambaran secara global yang dijadikan pusat perhatian dalam mengkaji suatu ilmu bagi penyusunannya. Karena itu para penyusun membiasakan menguraikan hasil karyanya dalam mukaddimah yang menjelaskan dasar-dasarnya.
Para Ulama telah menyusun beberapa kitab Risalah (kitab kecil) khusus mengenai dasar-dasar ilmu itu. Di antaranya ada yang dicetak dengan format kecil namun besar manfaatnya. Yaitu Risalah almarhum al-Syaikh Ali Rajab al-Sholihin. Nama kitab itu ialah Tahqiqu Mabaadi'il Uluumil Ibda Asyar (Merealisir dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sebelas).
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqoddimah-nya, menulis dalam bagian akhir beberapa pasal tentang ilmu-ilmu syar'iyah lughowiyah dan aqliyah. Di sana beliau menjelaskan tentang ta'rif (definisi) setiap ilmu, pertumbuhannya dan perkembangannya.
Kemudian yang terpenting dalam perhatian ini, ialah bahwasanya bahasan ilmu Ushulul Fiqh dan kaidahnya bukanlah bahasan atau kaidah yang bersifat Ta'abbudiyah (hal-hal yang tidak bisa dipertimbangkan secara akal yakni bersifat dogma dan pasti). Akan tetapi hanya semata-mata sebagai alat dan sarana yang dijadikan penolong bagi pembuat hukum syariat Islam (al-Musyri') dalam memelihara kemaslahatan umum dan mengikuti batas-batas ketetapan Tuhan ketika membentuk hukum syariat Islam. Juga sebagai penolong bagi seorang hakim (Qodhi) dalam menjalankan keputusan secara adil, atau ketika ia menerapkan undang-undang dalam keputusan itu.
Download Dokumen